Tuesday, December 30, 2014

Belajar Dari Pemainan Kelereng


Pernahakah anda bermain kelereng? Atau pernahkah anda memperhatikan sekelompok anak yang sedang bermain kelereng?. Bagaimana anda menggambarkan suasana hati mereka ketika memainkan bola-bola kecil tersebut? asyik, senang, antusias, ceria dan masih banyak kata-kata  lain yang mewakili perasaan gembira mereka ketika bermain kelereng. Semua anak yang bermain kelereng pasti memiliki tujuan yang sama yaitu  bagaimana bisa memenangkan setiap permainan dan medapatkan sebanyak mungkin kelereng dari lawan. Mereka harus fokus dan serius mengarahkan tatapan mereka kepada bola-bola kecil yang mereka bidik. Mereka berusaha dengan maksimal bagaimana caranya menembakkan kelerengnya tepat ke kelereng sasarannya. Ketika mereka kalah dalam permainan, tak mendapatkan satu pun kelereng, atau mungkin semua kelerengnya habis tak bersisa dikalahkan lawan-lawannya, tak jarang perasaan kecewa pasti muncul dari diri mereka. Bukan hanya itu, setelah permainan selesai pasti hanya kelelahan yang dengan erat menghinggapi tubuh mereka, terutama jari-jari mereka, bahkan letihnya masih hinggap dengan setia di tubuhnya berhari-hari. Terlepas dari keseriusan mereka bermain kelereng, kecewa karena kalah, rasa letih pada tubuh mereka, kenapa mereka selalu merindukan untuk selalu bermain kelereng lagi? Jawabannya sangat sederhana, yaitu karena mereka memainkannya dengan perasaan yang senang. Mereka selalu bergembira untuk bermain kelereng. Panasnya sengatan matahari seolah-olah menjadi pembakar semangat mereka untuk bermain kelereng lagi dan lagu. Derasnya hujan yang mendinginkan seluruh tubuhnya tak akan pernah menjadi penghalang mereka untuk memainkan si bola mungil ini.
Sebuah tempat belajar atau kelas bagi kebanyakan siswa layaknya hanya sebuah ruang berbentuk kotak yang penuh dengan kebosanan, keseriusan, dan melelahkan. Bagi mereka kelas adalah ruang keterpaksaan untuk mendapatkan sebuah pendidikan. Tentunya bukan hanya kelas yang menjadi penyebab bagi mereka enggan untuk datang ke kelas tersebut. Penyebab lain, yang juga menjadi penyebab lebih besar akan keengganan siswa datang ke ruang kelas adalah bagaimana seorang guru bisa menciptakan sebuah kelas yang penuh dengan keceriaan, dalam hal ini bukan bagaimana seorang guru mendekorasi sebuah ruang kelas, tetapi bagaimana seorang guru bisa menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan.
Setiap guru pasti mendambakan siswanya bisa belajar dengan fokus dan serius di kelas. Tentunya setiap guru mendambakan setiap siswanya bekerja dengan keras meskipun mereka harus merasa letih secara fisik maupun mental. Setiap guru pasti selau mendambakan memiliki siswa-siswi yang selalu bersemangat melangkahkan kakinya dari rumah menjadi ruang kelas meskipun terik matahari menyengat atau derasnya hujan mengguyurnya. Setiap guru pasti selalu merindukan keceriaan dan senyuman semua siswa ketika belajar di kelas. Seorang guru harus belajar dari permainan kelereng. Menciptakan sebuah tempat dan proses pembelajaran yang membuat siswa merasa riang meskipun mereka harus serius, fokus, ataupun letih. Sebauh ruang belajar yang selalu memberikan kerinduan bagi siswa untuk selalu datang mencari ilmu.

Guru Pembeda

Anda pasti sudah sangat familiar dengan ust. Arifin Ilham atau ust. Yusuf Mansyur. Apakah persamaan diantara keduanya? Jawaban anda pasti keduanya sama-sama da’i, ustadz, pendakwah. Intinya keduanya adalah keduanya adalah seorang da’i yang mendakwahkan agama Islam. Namun, ketika saya lemparkan sebuah pertanyaan, apakah peredaan diantara keduanya? Silahkan anda berfikir sejenak untuk menemukan peredaannya. Sudah ketemu? Ya, saya yakin jawaban saya juga akan mewakili jawaban anda, ust. Arifin Ilham yang dikenal oleh masyarkat karena majlis dzikirnya, sedangkan Yusuf Mansyur dikenal karena konsep sedekahnya. Dapatkan anda menemukan perbedaan yang mencolok antara nabi nuh dan nabi musa? Meskipun beliau sama-sama utusan Allah untuk mengajarkan ajaran agama Islam pada zamannya, beliau mempunyai perbedaan masing-masing. Umat Islam sangat mengenal nabi nuh karena BAHTERAnya yang menyelamatkan dia dan umatnya dari amukan banjir besar pada saat itu. Sedangkan nabi musa lebih dikenal karena karena tongkat sakitnya dalam membelah lautan untuk menghindari kejaran raja Fir’aun.  Kalau saya meminta anda untuk menyebutkan salah satu merk mineral, pasti anda secepat kilat akan menjawab Aqua.  Meskipun saat ini sudah beredar berbagai macam produk teh dalam kemasan, tetapi yang ada dalam benak anda mengenai teh botol atau teh dalam kemasan pasti Teh Botol Sosro. Meskipun anda kurang begitu menyukai makanan siap saji, ketika anda saya meminta anda untuk menyebutkan salah satu merek mie instan, pasti jawaban yang keluar dari pikiran anda adalah indomie.
                Menjadi seorang guru bukan hanya sekedar menjalankan sebuah rutinitas seperti mentransfer sebuah informasi kepada peserta didik, memberikan mereka tugas atau pekerjaan rumah, atau mengadakan ujian baik itu ulangan harian atau ujian semester. Menjalankan sebuah tugas seorang guru juga mengenai bagaimana dia bisa mencipatkan sebuah nama pembeda atau penciri yang melekat pada dirinya, yang membuat dia berbeda dengan guru yang lain dan yang akan selalu dikenang siswanya selamanya. Seorang siswa akan lebih mengingat bagaimana cara guru menyampaikan materi atau informasi baru daripada informasi apa yang dia sampaikan kepada siswa. Disinilah salah satu tugas seorang guru untuk membuat sebuah penciri yang memberikan kesan yang tak pernah terlupakan oleh siswa, bahkan ketika siswa tersebut sudah berkeluarga. Kalau siswa anda hanya menyebut anda guru Bahasa Inggris, itu berarti anda sama dengan guru-guru Bahasa Inggris di luar sana. Kalau ada salah satu siswa menyebut anda guru Bahasa Inggris yang attraktif. Itulah salah satu penciri abadi anda. Siswa akan selalu mengenang anda sebagai guru yang atraktif. Ketika ada seseorang yang bertanya kepada siswa anda mengenai diri anda, pasti dia akan dengan lantang menjawab atraktif teacher.  Kalau anda guru yang kreatif, itulah penciri anda. Kalau anda selalu mengajar dengan aktifitas permainan, itulah penciri anda. Kalau siswa anda selalu merindukan kehadiran anda di kelas karena anda selalu mengajak mereka bernyanyi itulah pembeda anda dengan guru lain. Jadi, menjadi guru bukan hanya sekedar menguasai isi materi yang kita sampaikan ke siswa, menjadi guru juga merupakan bagaimana seorang guru bisa menciptakan sebuah pembeda atau penciri yang melekat pada dirinya yang selalu di kenang siswanya selamanya.

Bagaimana dengan anda? Sudahkah anda mencipatkan sebuah penciri atau pembeda pada diri anda?

Tuesday, December 23, 2014

Pemerolehan Bahasa Di Dalam Al Qur'an

Masih tersimpan dalam ingatan saya ketika salah satu dosen s-1 Bahasa Inggris saya menjelaskan bagaimana proses pemerolehan atau penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing. Beliau mengambil teori dari salah satu buku Principles of Language Teaching and Learning karangan Douglas Brown mengenai proses seseorang memperoleh sampai menguasai Bahasa Inggris. Beliau menjelaskan bahwasannya tahapan seseorang memperoleh suatu bahasa dimulai dari mendengarkan (listening). Seperti kita ketahui bersama bahwasannya seorang anak kecil, dalam hal ini anak balita, bisa berbicara atau menirukan perkataan orang dewasa berasal dari mendengarkan (listening). Dosen saya dengan komprehensif menjelaskan bahwasannya pasangan dari listening adalah speaking. Seseorang mendengarkan kemudian meresponnya dengan berbicara (speaking). Ketika anak sudah mulai beranjak besar, penguasaan bahasa mereka bukan hanya sekedar berbicara. Setelah memori meraka telah terisi berbagai kosa kata bahasa yang mereka peroleh, dengan menggunakan salah satu panca indra mereka, dalam hal ini mata, mereka mengaktifkan kemampuan berbahasa mereka dalam memahami sebuah tulisan. Kalau dikaitkan dengan teori penyerapan dan pemproduksian bahasa, pasangan dari reading (membaca) adalah writing (menulis).
Penjelasan teori pemerolehan bahasa memang merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli Bahasa. Namun tahukah anda bahwasannya keagungan Al qur’an telah menjelaskan bagaimana proses atau tahapan sebuah bahasa itu diperoleh.
Allah swt berfirman, yang artinya; “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS an-Nahl 16:78);
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS al-Israa 17:36).
Perhatikan ayat-ayat tersebut di atas; Ada urutan “Pendengaran” (as-sam’a), lalu “Penglihatan” (al-abshar/al-bashar), & “hati/akal-budi” (al-Fuaad). Urutan tersebut di atas bisa dikatakan sebagai urutan (tahap-tahap) dalam mempelajari atau menguasai suatu bahasa, termasuk bahasa Indonesia, Arab & Inggris.
Pendengaran, kita memperoleh suatu bahasa dari proses mendengarkan (listening). Anak balita pertama kali mendapatkan bahasa mereka dari mendengarkan orang tuanya berbicara, terutama dari ibu mereka. Setelah mereka memperoleh bahasa dari proses mendengarkan mereka mengucapkannya (speaking). Awalnya mereka hanya meniru kata demi kata yang diucapkan orang tua atau orang-orang disekitarnya. Seiring dengan bertambahnya usia, mereka sudah bisa berbicara dengan kalimat yang lengkap. Contoh lain dari pemerolehan bahasa yang diawali dengan mendengarkan (listening) adalah ketika ada seorang anak yang dibawa orang tuanya ke negara Inggris atau Amerika dalam waktu yang lama. Si anak pasti pada akhirnya menguasai Bahasa Inggris melalui tahapan mendengarkan dan berbicara.
Tahap kedua adalah penglihatan, dalam hal ini adalah membaca (reading). Membaca merupakan pasangan dari menulis (writing) karena seseorang tidak bisa membaca kalau tidak ada tulisan. Pada proses pemerolehan bahasa melalui membaca, seseorang membaca dengan tujuan membaca dengan lancar (reading fluency) atau membaca dengan memahami (reading) comprehension). Seseorang yang bisa membaca bacaan Bahasa Inggris dengan lancar (sesuai dengan pronunciation Bahasa Inggris) pasti melalui tahapan pendengaran. Mereka mendengarkan, menirukan, kemudian mempraktikannya dalam membaca. Karena sebuah bacaan merupakan kumpulan dari kata yang membentuk suatu kalimat, dalam memahami sebuah bacaan yang dibaca, seseorang juga melalui tahapan yang pertama, yaitu mendengarkan atau mengenali kosa kata yang kemudian mereka lebih pahami dalam sebuah bacaan. Seorang penulis yang hebat bisa membuat sebuah karya tulisan yang mengumkan karena tidak selalu membaca berbagai membaca buku. Dengan kata lain, tahapan menulis didahului oleh membaca (reading).

Monday, December 22, 2014

Sang Nahkoda



Akhir-akhir ini bangsa ini tengah disibukkan oleh pembahasan mengenai kurikulum 2013. Hampir setiap hari baik di media  cetak maupun media elektronik sangat intens menyajikan sebuah pemberitaan khusus mengenai menghentikan atau meneruskan  kurikulum 2013. Terlepas dari pro kontra kurikulum 2013, yang pasti fenomena ini telah membuat banyak pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam dunia pendidikan merasa galau. Bagi sekolah-sekolah yang telah menerapkan kurikulum 2013, kerja keras guru mereka untuk mengikuti pelatihan ber jam jam mengenai K 13 akan terasa sia sia. Materi ajar, metode pembelajaran, dan media pembelajaran yang sudah mereka siapkan dalam pengajaran K 13 seakan-akan menjadi sebuah nasi yang lengkap dengan lauk pauknya tapi tidak bisa dimakan. Buku K 13 yang telah dicetak dan didistribusikan ke sekolah-sekolah, seolah-olah menjadi tamu baru bagi gudang sekolah. Perangkat pembelajaran dengan berbagai macam jenis penilaian yang telah disusun seakan-akan hanya menjadi bank dokumen yang tiada gunanya.
Sebuah kurikulum dalam sistem pendidikan suatu bangsa merupakan salah satu aspek yang penting dalam kemajuan pendidikan. Ibarat sebuah kapal yang megah, sebuah kurikulum bagus  tidak akan bisa berlayar dengan selamat ketika nahkoda-nahkoda kurikulum, dalam hal ini seorang guru tidak mempunyai kualifikasi yang bagus dalam mengajar. Bangsa ini memang membutuhkan sebuah kurikulum yang bagus yang bisa memayungi setiap sekolah di seluruh negeri ini. Tapi, bangsa ini juga lebih membutuhkan nahkoda-nahkoda pendidikan yang penuh dedikasi dan integrasi menghibahkan ilmu mereka untuk anak bangsa. Bangsa ini membutuhkan guru-guru yang tak kenal lelah menghadapi badai permasalahan yang senantiasa menghambat langkahnya dalam membangun negeri ini. Negeri ini menantikan nahkoda-nahkoda pejuang yang selalu siap dengan sepenuh jiwa melangkahkan kakinya di setiap penjuru negeri untuk mencerdaskan putera bangsa.  Bangsa ini merindukan guru-guru hebat yang berhasil mencetak orang-orang hebat seperti para pejuang kemerdekaan bangsa. Janganlah kita pernah merasa lelah mendoakan negeri ini menjadi sebuah negera yang diakui dunia karena kualitas pendidikannya dan kualitas gurunya.
Kami, Bangsa Indonesia tengah menunggumu sang Nahkoda.


Wednesday, December 10, 2014

Language and Puberty





Many people argue that mastering second language for adult will be more difficult than the children. Some people even have statement that it is very impossible for adult to master second language, particularly mastering English. To answer this case, we have to understand the correlation between language and age or puberty. According to the theory of attaining second language, there are two ways of mastering second language. The first, human gets second language through acquisition process. The second point is that human gains the second language from learning process. The language acquisition process usually happens for children who are in 2-10 years old, or unpuberty children. Most of them acquire language in unconscious process. The children on the age are very good in acquiring the sound of the second language. They are able to utter appropriate accent and prononciation. Children are able to imitate and utter fluent English sound since their brain capacity is still flexible. Thus, it is not surprisingly that there is a child who speaks in English as second language, but he is able to utter it like native speaker. He is able to speak like a native speaker since he acquires English before he is 10 years language. He speaks the language unconsciously so that never feel afraid to make mistake in producing the language.  
People who have been puberty, on the other hand, actually are still able to gain the second language.  People who are on this age mostly gain the language through learning process so we call them English learners. They gain the language consciously in the classroom process. Most of them are enthusiastic learn the second language from the aspect of syntaxis or the structure of the language. Since they try to master the language consciously, they tend to be reluctant to use the language for communication because they are anxious to make a mistake in prononciation or accent. The puberty English learners are lack in uttering the correct English accent and prononciation. According to some research, the puberty English learners have less brain flexibility that cause them get difficulty to utter the English sound. Therefore, children who have not been puberty will have better competence in producing English sound than adult learners. Moreover, it is not true that adult people are not able to master the second language, particularly English.  They only face big difficulty to utter the language like native speaker.